gambar

Jumat, 07 September 2012

Hari Raya Kuningan


  Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya padaSaniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari)
Di hari suci diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Sering juga diyakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Betara kembali ke sorga.
Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.

Apa Itu Pura

   Sesungguhnya kata "Pura" berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, pura, -puram, -pore), yang mengandung arti kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangannya istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah terutama di bali, sedangkan kata "Puri" diartikan khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan. Pada perkembangannya pura di bali dapat di bagi menjadi empat sesuai dengan tujuan dan tempat pura itu didirikan seperti Pura Kahayangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan.
Pura Kahyangan Jagat adalah pura umum untuk pemujaan Ida Sang Hyang widhi Wasa dengan segala manfestasinya. Dalam pura kahyangan jagat ini juga termasuk pura Sad Kahyangan dan Pura Dhang Kahyangan. Pura Sad Kahyangan adalah Pura-Pura tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bermanefestasinya sebagai penjaga enam penjuru mata angin. Adapun pura-pura tersebut adalah Pura Silayukti, Pura Lempuyang, Pura Sakenan, Pura Luhur Batukaru, Pura Rambut Siwi, dan Pura Luhur Uluwatu. Sedangkan yang dimaksud dengan Pura Dhang Kahyangan adalah pura-pura besar yang berkaitan dengan Dharma-Yatranya seorang Dhang Guru terutama Dhang Hyang Dwijendra. Selain itu yang termasuk pura kahyangan jagat ini adalah pura-pura kerajaan.
  Pura Kahyangan tiga merupakan pura yang dibuat di suatu desa adat tertentu. Pura-pura ini biasanya disebut dengan Pura Kahyangan Tiga meliputi Pura Desa dan Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa dan bale Agung biasanya dibuat jadi satu, yang merupakan tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam Prabawanya sebagai Dewa Pencipta atau Dewa Brehma. Pura Puseh merupakan pura sebagai tempat pemujaan kepada dewa Wisnu yang merupakan manefestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Pemelihara. Dalam pure puseh ini biasanya dilakukan Upacara Ngusabha yang merupakan upacara untuk memohon kepda Ida Sang Hyang Widhi Wasa supaya Pertaniannya berhasil dengan baik. Terakhir, Pura Dalem merupakan tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Pelebur yaitu Dewa Çiwa.
  Berdasarkan fungsinya pura itu dibuat maka disebut Pura Swagina. Pura-pura ini dibuat karena kesamaan didalam suatu bidang kekaryaan atau matapencarian. Pura-Pura tersebut adalah Pura di Sawah yang disebut sebagai Pura Bedugul, Pura di Pasar yang disebut sebagai Pura Melanting dan juga Pura di kantor-kantor termasuk dalam pura ini.
  Untuk tempat pemujaan yang lebih spesifik berasarkan asal usul keturunan atau wit maka pura tersebut dinamakan Pura Kawitan. Pura ini disungsung oleh kesamaan leluhur atau keturunan dan biasanya patrilineal(keturunan Laki-Laki), seperti Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia Pedharman dan sejenisnya
  1. Pengertian.
    Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa (manifestasi- NYA) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Di samping dipergunakan istilah Pura untuk menyebut tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan.
  2. Fungsi Pura.
    Pura adalah tempat suci umat Hindu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA) dan atau Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur) dengan sarana upacara yadnya sebagai perwujudan dari Tri Marga.
  3. Tujuan Pengelompokan Pura.
    1. Untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran umat terhadap Pura sebagai tempat suci umat Hindu.
    2. Menghindari adanya salah tafsir bahwa dengan adanya banyak Palinggih di suatu Pura, Agama Hindu dianggap polytheistic.
  4. Dasar Pengelompokan Pura di Bali.
    1. Tattwa Agama Hindu yang berpokok pangkal pada Konsepsi Ketuhanan : "Ekam sat wipra bahudha vadanti", artinya Hanya satu Tuhan Yang Maha Esa orang arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Brahman Atman aikhyam artinya: Brahman
      dan Atman hakekatnya manunggal
       (Reg Weda).
    2. Prabawa Hyang Widhi Wasa dan atau Atma Sidha Dewata yang dipuja di Pura tersebut.
      Panyiwi Pura tersebut, jagat dan warga (clan).

  5. Pengelompokan Pura di Bali.
    1. Berdasarkan fungsinya digolongkan menjadi dua kelompok:
      1. Pura Jagat yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA).
      2. Pura Kawitan yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
    2. Berdasarkan karakterisasi digolongkan menjadi empat kelompok:
      1. Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA) seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat lainnya.
      2. Pura Kahyangan Desa (territorial) yaitu Pura yang disungsung oleh Desa Adat.
      3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang penyiwinya terikat oleh ikatan swaginanya (Kekaryaannya) yang mempunyai profesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti Pura Subak, Pura Melanting dan yang sejenisnya.
      4. Pura Kawitan yaitu Pura yang penyiwinya ditentukan oleh ikatan "wit" atau Leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogies), seperti Sanggah/ Merajan, Pretiwi, Ibu, Panti, Dadia, Batur, Dadia, Penataran Dadia, Dalem Dadia, Dadia, Pedharman dan yang sejenisnya.
Catatan
  1. Selain kelompok Pura yang mempunyai fungsi dan karakterisasi seperti tersebut di atas diakui terdapat pula Pura yang berfungsi di samping untuk memuja Hyang Widhi Wasa/ Prabawa- NYA juga berfungsi untuk memuja Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
  2. Palinggih Penyawangan yang terdapat di kantor- kantor, sekolah- sekolah dan sejenis dengan itu dapat dikelompokkan ke dalam kelompok Pura Jagat/ Umum karena sebagai tempat pemujaan Prabawa tertentu dan Hyang Widhi Wasa.


Struktur Pura

  Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapuraatau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “triloka“, yaitu: bhùrloka (bumi), bhuvaáloka (langit) dan svaáloka(sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaá) dan alam bawah (adhaá), yaitu àkàúa dan påtivì.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “saptaloka” yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhùrloka, bhuvaáloka, svaáloka, mahàoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “ekabhuvana” , yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan “prakåti” (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis “puruûa” (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakåti dengan puruûa dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada “Super natural power“. Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa ) dalam sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali = penyengker ) scbagai batas pekarangan yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah “padurakûa” (penyangga sudut) yang berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci (dikpàlaka ).
Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang pertama disebut jabaan (jaba pisan) atau halaman depan/luar, dan pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan berupa “bale kulkul” (balai tempat kentongan digantung), “bale wantilan” (semacam auditorium pementasan kesenian, “bale pawaregan” (dapur) dan “jineng” (lumbung). Halaman kedua disebut jaba tengah (halaman tengah biasanya berisi bangunan “bale agung” (balai panjang) dan “bale pagongan” (balai tempat gamelan). Halaman yang ketiga disebut jeroan (halaman dalam), halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di antara jeroan dan jaba tengah biasanya dipisahkan oleh candi kurung atau kori agung.
Sebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba tengah). Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailaúa tempat bersemadhinya dewa Úiva. Di kiri dan kanan pintu masuk candi bentar ini biasanya terdapat arca Dvàrapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca pangapit lawang), berbentuk raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu masuk kehalaman dalam (jeroan) di samping disebut kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di pura. Umat penyungsung(pemilik pura) tidak menggunakan kori agung itu sebagai jalan keluar-masuk ke jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut “bebetelan“, terletak di sebelah kiri atau kanan kori agung itu.
Pada bagian depan pintu masuk (kori agung) juga terdapat arca Dvàrapàla yang biasanya bermotif arca dewa-dewa (seperti Pañca Devatà). Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada pura atau candi di India disebut Kìrttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah discbut Kàla, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali discbut Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomàntaka (matinya Sang Bhoma ) dapat dijumpai dalam kakawin Bhomàntaka atau Bhomakawya. Bhoma adalah putra dewa Viûóu dengan ibunya dewi Påtivì yang berusaha mengalahkan sorga. Akhimya ia dibunuh oleh Viûóu sendiri. Kepalanya yang menyeringai ini dipahatkan pada kori agung. Mcnurut cerita Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kìrttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang yang berhati suci masuk kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.

KeSimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa pura adalah tempat suci, tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para devatà dan roh suci leluhur. vaýúakarta) yang diyakini telah mencapai alam kesucian (svarga). Di samping itu pengelompokkan pura juga dibedakan atas pura umum, pura teritorial, pura fungsional, dan pura kawitan (pura untuk memuja pendiri dinasti).
Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Pura Jagat dan Pura Kawitan, sedangkan berdasarkan karakternya dibedakan menjadi Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina (pura fungsional) dan Pura Kawitan. Berdasarkan struktur pura dibedakan pura dengan 3 halaman (Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi) yang melambangkan Tribhuwana (Svah, Bhuvah, dan Bhurloka), 2 halaman (Jeroan dan Jabaan) yang melambangkan alam sorga dan bumi dan yang satu halaman saja yang melambangkan alam sorga. Pura dengan 3 halaman pada umumnya untuk pura yang besar (Kahyangan Jagat) sedangn pura dengan 2 atau satu halaman pada umumnya utuk pura Kawitan atau pura keluarga.
Pura dibedakan berdasarkan pengelompokka peruntukannya, yaitu pura yaitu pura sebagai tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para devatà manifestasi-Nya dan pura untuk memuja roh suci para leluhur, utamanya roh suci para mahàrûi (àchàrya) dan pendiri dinasti ( Daftar Pustaka